BABK: Anak Berkesulitan Belajar"
A.
ANAK
BERKESULITAN BELAJAR (LEARNING
DISABILITY)
Anak
berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki gangguan satu atau lebih Dari
proses dasar yang mencakup pemahan penggunaan bahasa lisan atau tulisan,
gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak
sempurna dalam mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja
atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia
dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran disekolah, kita dihadapkan
pada sejumlah karakteristik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat
menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa adanya kesulitan,
namun disisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya
mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar dan dapat bersifat
psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dalam
menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada dibawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencangkup pengertian yang luas, diantaranya: (a) learning disorder, (b) learning disfunction, (c) under achiever, (d) slow learner, (e) learning
disabilities.
Dibawah
ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1.
Learning
Disorder atau kekacauan belajar
Adalah keadaan dimana
proses belajar seseorang terganggung karena timbulnya respon yang bertetangan.
Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak
dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya
respon-respon yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dihasilnya lebih
rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh, siswa sudah terbiasa dengan olah
raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami
kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah gemulai.
2.
Learning
Disfunction
Merupakan gejala dimana
proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun
sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya sub normalitas mental atau
gangguan psikologis lainnya. Contoh, siswa yang memiliki postur tubuh yang
tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola voly, namun karena tidak
pernah dilatih bermain bola voly, maka dia tidak dapat menguasai permainan voly
dengan baik.
3.
Under
Achiever
Mengacu pada siswa yang
sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong diatas normal,
tetapi prestasi tergolong rendah. Contoh, siswa yang telah dites kecerdasannya
dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140),
namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4.
Slow
Learner atau lambat belajar
Adalah siswa yang
lambat dalam proses belajar, sehingga dia membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang
sama.
5.
Learning
Disabilities
Mengacu pada gejala
dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga belajar
dibawah potensi intelektualnya . Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti
tergolong dalam pengertian diatas akan tampak dari berbagai gejala dan
dimanifestasikan dalam prilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, maupun
afektif.
Beberapa
prilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain: (a)
menunjukkan hasil belajar yang rendah dibawah rata-rata nilai yang dicapai oleh
kelompoknya atau dibawah potensi yang dimilikinya, (b) hasil yang dicapai tidak
seimbang dengan uasah yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah
berusaha giat belajar, tetapi nilai yang diperolehya selalu rendah, (c) lambat
dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari
kawan-kawannya dari waktu yang disediakan, (d) menunjukkan sikap-sikap yang
tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan
sebagainya, (e) menunjukkan prilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang
terlambat, tidak mengerjakan PR, menggangu didalam ataupun diluar kelas, tidak
mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan pembelajaran dan
sebagainya, (f) menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti,
pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam
menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak
menunjukkan perasaan sedih atau menyesal dan sebagainya.
Sementara
itu, menurut Abin Syamsuddin (2003) mengidentifikasi siswa yang diduga
mengalami kesulian belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam
mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut Abin Syamsuddin (2003) bahwa siswa
dikatakan gagal dalam belajar apabila:
1.
Dalam batas waktu
tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau
tingkat penguasaan materi minimal dalam pembelajaran tertentu yang telah
ditetapkan oleh guru.
2.
Tidak dapat mengerjakan
atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan tingkat kemampuan,
bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan kedalam under achiever
3.
Tidak berhasil tingkat
penguasaan materi yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat
pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan kedalam slow learner atau belum matang, sehingga harus menjadi pengulang.
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang
mnegalami kesulitan belajar, maka diperlukan criteria sebagai batas atau
patokan, sehingga dengan criteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa, (a) tujuan pendidikan, (b)
kedudukan dalam kelompok, (c) tingkat pencapain hasil belajar dibandingkan
dengan potensi dan, (d) kepribadian.
Di
Indonesia memang belum ada definisi yang baku mengenai berkesulitan belajar dan
klasifikasi seperti yang dijelaskan di atas. Meskipun demikian dalam penerapan
di lapangan Balitbang Dikbud (1997) merumuskan anak berkesulitan belajar dapat
didefinisikan sebagai berikut.
“Anak
berkesulitan belajar adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam
tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya pun disfungsi neurologis, proses psikologis
dasar maupun sebab-sebab lain sehingga prestasi belajarnya rendah dan anak
tersebut berisiko tinggi tinggal kelas”.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Dikbud (1996/1997) diketahui
bahwa kesulitan belajar yang dialami anak pada umumnya tidak hanya satu jenis
saja. Hal ini dapat dijelaskan karena jika anak mengalami kesulitan belajar
pada salah satu dari kemampuan akademik utama, yaitu membaca, menulis atau
berhitung dan kesulitan tersebut jika tidak segera diatasi, maka anak tersebut
akan mengalami kesulitan dalam bidang yang lain.
B.
KLASIFIKASI
ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Mengenal
anak berkesulitan belajar spesifik (specific
learning disability), juga dapat dibagi menjadi dua jenis, ialah kesulitan
belajar praakademik dan kesulitan belajar akademik.
1.
Kesulitan
Belajar Praakademik
Kesulitan
belajar praakademik sering disebut juga sebagai kesulitan belajar developmental. Ada tiga jenis anak
dengan kesulitan belajar developmental
yaitu sebagai berikut.
a.
Gangguan
Motorik dan Persepsi
Gangguan
perkembangan motorik disebut dispraksia,
mencakup gangguan pada motorik kasar, penghayatan tubuh, dan motorik halus.
Gangguan persepsi mencakup persepsi penglihatan atau persepsi visual, persepsi
pendengaran atau persepsi auditoris, persepsi heptik, dan intelegensi system
persepsual. Dispraksia atau sering disebut ‘clumsy’
adalah keadaan sebagai akibat adanya gangguan dalam intelegensi auditori-motor.
Manifestasinya dapat berupa disfasia verbal (berbicara) dan non verbal
(menulis, bahasa isyarat, dan pantomim).
Ada
beberapa jenis dispraksia, yaitu sebagai berikut.
1) Dispraksia
ideomotoris: ditandai kurangnya kemampuan dalam melakukan gerakan praktis
sederhana, seperti menggunting, menggosok gigi, atau menggunakan sendok makan.
Dispraksia ini sering merupakan kendala bagi perkembangan bicara.
2) Dispraksia
ideosional: anak dapat melakukan gerakan kompleks tetapi tidak mampu
menyelesaikan secara keseluruhan terutama dalam kondisi lingkungan yang tidak
tenang. Anak sering bingung mengawali suatu aktivitas.
3) Dispraksia
konstruksional: anak mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan-gerakan
kompleks yang berkaitan dengan bentuk, seperti menyusun balok dan menggambar.
Kondisi ini dapat mempengaruhi gangguan menulis (disgrafia).
4) Dispraksia
oral: sering ditemukan pada anak yang mengalami disfasia perkembangan. Anak
mempunyai gangguan dalan bicara karena adanya gangguan dalam konsep gerakan
motorik di dalam mulut.
b.
Kesulitan
Belajar Kognitif
Pengertian
kognitif mencakup berbagai aspek struktur intelek yang dipergunakan untuk
mengetahui sesuatu. Dengan demikian, kognitif merupakan fungsi mental yang
mencakup persepsi, pikiran, simbolisasi, penalaran, dan pemecahan masalah.
Perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dari kemampuan anak dalam penggunaan
bahasa dan penyelesaian soal-soal matematika. Gangguan kognitif hendaknya
ditangani sejak anak masih berada pada usia prasekolah.
c.
Gangguan
Perkembangan Bahasa (disfasia)
Disfasia
adalah ketidakmampuan atau keterbatasan kemampuan anak untuk menggunakan symbol
linguistik dalam rangka berkomunikasi verbal. Gangguan pada anak yang terjadi
pada frase perkembangan ketika anak belajar berbicara disebut sebagai disfasia
perkembangan (development dysphasia).
Disfasia
ada dua jenis, yaitu disfasia reseptif dan disfasia
ekspresif. Pada disfasia reseptif anak mengalami gangguan pemahaman dalam
penerimaan bahasa. Anak dapat mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi tidak
mengerti apa yang didengar karena mengalami gangguan dalam memproses stimulus
yang masuk. Pada disfasia ekspresif,
anak tidak mengalami gangguan pemahaman bahasa, tetapi ia sulit mengekspresikan
kata secara verbal.
d.
Kesulitan
dalam Penyesuaian Perilaku Sosial
Ada
anak yang perilakunya tidak dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, ia
ditolak karena sering mengganggu, tidak
sopan, tidak tahu aturan, atau berbagai perilaku negatif lainnya. Jika
kesulitan penyesuaian perilaku sosial ini tidak secepatnya ditangani maka tidak
hanya menimbulkan kerugian bagi anak itu sendiri, tetapi juga bagi
lingkungannya.
2.
Kesulitan
Belajar Akademik
Meskipun
sekolah mengajarkan berbagai mata pelajaran atau bidang studi, klasifikasi
belajar akademik tidak dikaitkan dengan semua mata pelajaran atau bidang studi
tersebut. Berbagai literatur yang mengkaji kesulitan belajar hanya menyebutkan
tiga jenis kesulitan belajar akademik sebagai berikut.
a.
Kesulitan
Belajar Membaca (Disleksisa)
Kesulitan
belajar membaca sering disebut disleksia. Kesulitan belajar membaca yang berat
dinamakan aleksia. Ada dua jenis pelajaran membaca, membaca permulaan atau
membaca lisan dan membaca pemahaman. Mengingat pentingnya kemampuan membaca
bagi kehidupan, kesulitan belajar membaca hendaknya ditangani sedini mungkin.
Ada dua tipe disleksia, yaitu disleksia auditoris dan disleksia visual.
Gejala-gejala
disleksia auditoris sebagai berikut.
1) Kesulitan
dalam diskriminasi auditoris dan persepsi sehingga mengalami kesulitan dalam
analisis fonetik.
Contoh: anak tidak
dapat membedakan kata ‘kakak, katak, kapak’.
2) Kesulitan
analisis dan sintesis auditoris.
Contoh: ‘ibu’ tidak
dapat diuraikan menjadi ‘I - bu’ atau problem sintesa ‘p – I – ta’ menjadi
‘pita’. Gangguan ini dapat menyebabkan kesulitan membaca dan mengeja.
3) Kesulitan
re-auditoris bunyi atau kata. Jika diberi huruf tidak dapat mengingat bunyi
huruf atau kata tersebut, atau kalau melihat kata tidak dapat mengungkapkannya
walaupun mengerti kata tersebut.
4) Membaca
dalam hati lebih baik dari membaca lisan.
5) Kadang-kadang
disertai gangguan urutan auditoris.
6) Anak
cenderung melakukan aktivitas visual.
Gejala-gejala disleksia visual sebagai
berikut.
1) Tendensi
terbalik: misalnya b dibaca d, p menjadi g, u menjadi n, dan sebagainya.
2) Kesulitan
diskriminasi, mengacaukan huruf atau kata yang mirip.
3) Kesulitan
mengikuti dan mengingat urutan visual.
4) Memori
visual terganggu.
5) Kecepatan
persepsi lambat.
6) Kesulitan
analisis dan sintesis visual.
7) Hasil
tes membaca buruk.
8) Biasanya
lebih baik dalam kemampuan aktivitas auditorik.
b.
Kesulitan
Belajar Menulis (Disgrafia)
Kesulitan
belajar menulis disebut juga disgrafia. Kesulitan belajar menulis yang berat
disebut agrafia. Ada tiga jenis pelajaran menulis, yaitu (1) menulis permulaan,
(b) mengeja atau dikte, dan (c) menulis ekspresif. Kegunaan kemampuan menulis
bagi seorang anak adalah untuk menyalin, mencatat, dan mengerjakan sebagian
besar tugas sekolah.
c.
Kesulitan
Belajar Berhitung (Diskalkulia)
Kesulitan
belajar berhitung disebut juga diskalkulia. Kesulitan berhitung yang berat
disebut akalkulia. Ada tiga elemen pelajaran berhitung yang harus dikuasai oleh
anak. Ketiga elemen tersebut adalah (1) konsep, (2) komputasi, dan (3)
pemecahan masalah. Kesulitan berhitung hendaknya dideteksi dan ditangani sejak
dini agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai mata
pelajaran lain di sekolah.
C.
IDENTIFIKASI ANAK
BERKESULITAN BELAJAR
Keragaman
definisi kesulitan belajar membawa keragaman pula dalam orientasi filosofis
tentang identifikasi dan pengajaran bagi anak berkesulitan belajar. Jika kita
yakin bahwa karakteristik utama kesulitan belajar itu ialah hiperaktif dan
masalah perseptual motorik maka prosedur identifikasi akan diarahkan ke sana.
Jika kita yakin bahwa masalah bahasa itu merupakan sentral utama maka
identifikasi kesulitan belajar akan difokuskan pada pengukuran keterampilan
berbahasa. Dengan demikian identifikasi anak berkesulitan belajar akan sangat
bergantung kepada definisi, orientasi, dan prosedur evaluasi yang digunakan.
Akibatnya banyak prosedur identifikasi dan metode pengajaran yang digunakan
untuk anak berkesulitan belajar.
Kendati
pun demikian prinsip-prinsip dasar evaluasi bagi seluruh anak berkesulitan
belajar perlu diketahui dan dipahami. Prinsip-prinsip dasar tersebut ialah:
1. Tes atau teknik evaluasi
lain harus diberikan dalam bahasa anak, dapat dipahami oleh anak.
2. Evaluasi harus dilakukan
oleh tim dari berbagai disiplin, setidak-tidaknya terdiri atas seorang guru
atau ahli lain yang mengetahui masalah kesulitan belajar.
3. Kriteria penetapan
kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Seorang anak dikatakan
mengalami kesulitan belajar jika anak tidak mampu mencapai prestasi sesuai
dengan usia dan tingkat kecakapan dalam satu atau lebih bidang:
1) Ekspresi lisan.
2) Mendengarkan pemahaman.
3) Ekspresi tulisan.
4) Keterampilan membaca
dasar.
5) Membaca pemahaman.
6) Perhitungan matematis.
7) Berpikir matematis.
b. Seorang anak tidak diidentifikasi
sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar jika kesenjangan antara kecakapan
dan prestasi disebabkan oleh:
1) Hambatan visual,
pendengaran atau motorik.
2) Keterbelakangan mental.
3) Gangguan emosional.
4) Ketidakberuntungan
lingkungan, budaya, atau ekonomi.
4. Pelaporan hasil
identifikasi hendaknya menyatakan hal-hal sebagai berikut.
a. Kesulitan belajar khusus
apa yang dialami anak.
b. Dasar yang digunakan untuk
menentukan jenis kesulitan.
c. Perilaku-perilaku yang
relevan yang tercatat selama dilakukan pengamatan.
d. Hubungan antara perilakuk
tersebut dengan keberfungsian akademik anak.
e. Temuan-temuan medis yang
relevan dengan pendidikan.
f. Kesenjangan antara
prestasi dan kecakapan yang tak dapat diatasi tanpa pendidikan dan layanan
khusus.
g. Pertimbangan tentang pengaruh
ketakberuntungan lingkungan, budaya, dan ekonomi.
D.
ANAK
DENGAN TARAF INTELEGENSI TINGGI
Anak
dengan taraf intelegensi tinggi atau kemampuan dan kecerdasan tinggi di atas
rata-rata sampai jenius bukan berarti tidak ada masalah dalam belajar. Justru
karena potensinya yang luar biasa, jika potensi tersebut tidak diberikan
kesempatan untuk dikembangkan secara optimal akan menjadi problema tersendiri
sendiri dalam belajar bagi anak yang bersangkutan.
Anak-anak
dengan kemampuan intelektual unggul dan bahkan istimewa (istilah lain dari “Gifted and Talented”) disebut sebagai
anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (UU No. 2/1989 Ps 8:2).
Mereka adalah aset bangsa yang apabila mendapatkan perhatian dan pelayanan yang
sesuai dengan bakat dan kemampuannya akan sangat dibutuhkan untuk pembangunan
bangsa dan negara di masa yang akan datang.
Renzuli
dan Hartman (1971) melihat keberbakatan dapat diketahui dari segi karakteristik
tingkah laku yang menonjol pada diri yang bersangkutan dibandingkan dengan
kelompok sebayanya. Mereka mengembangkan skala penilaian karakteristik tingkah
laku anak berbakat berdasarkan 4 kategori, yaitu karakteristik belajar,
karakteristik motivasi, karakteristik kreativitas, dan karakteristik
kepemimpinan. Masing-masing kategori mempunyai ciri tingkah laku yang lebih
menonjol dibandingkan anak-anak yang tidak berbakat.
a. Karakteristik
yang menonjol dalam belajar misalnya menguasai jumlah kosakata yang luar biasa,
memiliki pengetahuan yang luas, cepat memahami hubungan sebab akibat, mudah
menangkap isi pelajaran, banyak membaca sendiri, dan sebagainya.
b. Karakteristik
yang menonjol dalam motivasi antara lain terlihat serius menghadapi topik
tertentu, mudah bosan dengan tugas rutin, tekun, ulet, tahan lama dalam
menghadapi tugas, selalu berusaha mencapai prestasi tinggi.
c. Karakteristik
kepemimpinan yang menonjol adalah mudah bekerja sama dengan orang lain, rasa
tanggung jawab yang besar, dapat mempengaruhi teman-temannya, mudah
menyesuaikan diri sehingga dipilih untuk memimpin kegiatan dan sebagainya.
d. Karakteristik
kreativitas yang menonjol adalah banyak mengemukakan gagasan, mudah
menyesuaikan gagasan dengan keadaan yang ada serta sering mempunyai gagasan
yang baru dan orisinil.
Anak-anak
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa yang tidak mendapatkan
pelayanan pendidikan yang sesuai, dapat menyebabkan prestasi belajarnya berada
di bawah potensinya atau sering disebut under
achiever. Untuk menentukan seseorang termasuk under achiever atau bukan, dapat dilakukan secara profesional atau
sekedar mengamati ciri-ciri atau gejala yang tampak.
Menurut
para ahli (Shaw, 1986; Turner, 1977; Achir, 1990), ada tiga pendekatan/model
untuk menentukan under achiever
secara profesional yaitu sebagai berikut.
a. Pendekatan/model
discrepancy
Pendekatan ini
menggunakan perhitungan kesenjangan belajar antara skor yang diperoleh
dari tes prestasi belajar dengan skor
yang diperoleh melalui tes intelegensi. Jika terjadi kesenjangan antara hasil
tes intelegensi dan hasil tes prestasi belajar seperti hasil tes intelegensi
lebih tinggi daripada hasil tes prestasi belajar maka disebut under achiever.
b. Pendekatan/model
regression
Pendekatan ini
menghitung korelasi antara intelegensi dan hasil belajar. Disebut under achiever jika terdapat korelasi
yang rendah antara skor prestasi belajar dengan skor intelegensi.
c. Pendekatan/model
Indeks Prestasi
Pendekatan ini
dilakukan dengan cara menetapkan suatu indeks atau batas tertentu untuk dapat
disebut under achiever.
Cara
lain yang lebih sederhana (yang dapat dilakukan oleh guru) adalah dengan
mengamati tanda-tanda perilaku atau sikap tertentu pada anak dalam kehidupan
sehari-hari, kemudian dicocokan dengan hasil belajar. Dengan mengamati
gejala-gejala seperti itu anak yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai
berindikasi under achiever.
E.
ANAK
DENGAN TARAF INTELEGENSI RENDAH
Anak
dengan intelegensi rendah diketahui melalui tes intelegensi. Seseorang yang
memiliki IQ di bawah 70 (untuk skala Wechsler) disebut tunagrahita. Menurut Grossman
seperti dikutip Kirk dan Gallagher (1979) berdasarkan hasil tes IQ (skala
Wechsler) tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi menjadi 4 yaitu
sebagai berikut.
a. Keterbelakangan
mental ringan (IQ = 55-69)
b. Keterbelakangan
mental sedang (IQ = 40-54)
c. Keterbelakangan
mental berat (IQ = 25-39)
d. Keterbelakangan
sangat berat (IQ = 24 ke bawah)
Di
samping itu masih ada anak yang ber-IQ antara 70-90, mereka termasuk kategori “border line” (garis batas) yang secara
pendidikan disebut “slow learner”
(lamban belajar). Gejala yang tampak pada anak seperti ini anatar lain prestasi
belajar sebagian besar atau seluruh mata pelajaran umumnya rendah, sering tidak
naik kelas, sulit menangkap pelajaran, dan sebagainya. Akibat lebih jauh dari
kondisi ini adalah putus sekolah.
F.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI TARAF INTELEGENSI
Menurut Bayley, faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan intelektual individu adalah sebagai berikut.
1.
Keturunan
Studi korelasi nilai-nilai tes
intelegensi diantara anak dan orang tua, atau dengan kakek-neneknya menunjukkan
adanya pengaruh factor keturunan terhadap tingkat kemampuan mental seseorang
sampai pada tingkat tertentu.
2.
Latar belakang sosial ekonomi
Pendapatan keluarga, pekerjaan
orang tua dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya berkorelasi positif dan
cukup tinggi dengan taraf kecerdasan individu mulai 3 tahun sampai dengan
remaja.
3.
Lingkungan hidup
Lingkungan yang kurang baik akan
menghasilkan kemampuan intelektual yang kurang baik pula. Lingkungan yang
dinilai paling buruk bagi perkembangan intelegensi adalah panti-panti asuhan
serta institusi lainnya, terutama bila anak ditempatkan di sana sejak awal
kehidupannya.
4.
Kondisi fisik
Keadaan gizi yang kurang baik,
kesehatan yang buruk, perkembangan fisik yang lambat, menyebabkan tingkat kemampuan
mental yang rendah.
5.
Iklim emosi
Iklim emosi dimana individu
dibesarkan mempengaruhi perkembangan mental individu yang bersangkutan.
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, terdapat banyak factor yang mempengaruhi taraf
intelegensi seseorang. Maka sebagai seorang guru, salah satu tugas serta
kewajiban yang harus dipenuhi adalah membantu mempengaruhi kemampuan
intelektual siswa agar dapat berfungsi secara optimal dan mencoba melengkapi
program pengajaran yang ditujukan bagi mereka yang lambat dalam belajar.
Adapun
cara yang dapat dilakukan oleh guru yaitu dengan memperhatikan kondisi
kesehatan fisik siswa, membantu pengembangan sifat-sifat positif pada diri
siswa, memperbaiki kondisi motivasi siswa, menciptakan kesempatan belajar yang
lebih baik bagi siswa. Dalam membantu mengembangkan sifat-sifat positif pada
diri siswa seperti percaya diri, perasaan diri dihargai, guru dapat melakukan
dengan cara menaruh respect terhadap
pertanyaan-pertanyaan serta gagasan-gagasan yang diajukan siswa sehingga dapat
membantu meningkatkan keyakinan diri siswa serta perasaan bahwa dirinya
dihargai. Selain itu agar perasaan-perasaan cemas, rendah diri, tegang, konflik
atau salah paham dapat dihindari oleh siswa. Sedangkan untuk memperbaiki
kondisi motivasi siswa, guru dapat melakukannya dengan memberikan insentif atas
keberhasilan yang diraih siswa yaitu dapat berupa pujian atau nilai yang baik.
Selain itu guru juga dapat memberikan kesempatan melaksanakan tugas-tugas yang
relevan, seperti di dalam kelompok diskusi, di depan kelas, pembuatan karya
tulis, dan lain-lain untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi
siswa.
Tulisan yang cukup lengkap tentang berkesulitan belajar. Mohon ijin share ya....
BalasHapusTerimakasih sudah berbagi ilmu
BalasHapus