Teori Pendidikan
TEORI-TEORI PENDIDIKAN
1. Teori
Koneksionisme
Edward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu
memberikan pengaruh besar terhadap berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya
dikenal dengan teori Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar belajar adalah
asosiasi antara stimulus (S) de¬ngan respons (R). Stimulus akan memberi kesan
ke-pada pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian
disebut sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike adalah menghadapkan
subjek pada situasi yang mengandung problem. Model eksperimen yang ditempuhnya
sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan kucing sebagai objek penelitiannya.
Kucing dalam keadaan lapar dimasukkan ke dalam kandang yang dibuat sedemikian
rupa, dengan model pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan
terbuka jika tali tersentuh/tertarik. Di luar kandang diletakkan makanan untuk
merangsang kucing agar bergerak ke-luar. Pada awalnya, reaksi kucing menunjukkan
sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak menentu, hingga akhirnya
suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah
laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti,
kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan yang
tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan
dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan
adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga
hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
Hukum Kesiapan
(The Law of Readiness)
Hukum ini
memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima atau
menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama, bila sese¬orang sudah siap melakukan
suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak
akan melakukan tingkah laku lain. Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar
siap menempuh ujian, dia akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila
seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka
akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan ting¬kah laku lain untuk
mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk
ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya:
berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya.
Ketiga, bila
seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya,
maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan
tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut.
Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu,
mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila
seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan tetap tidak melakukannya,
maka ia akan puas. Contoh, peserta didik akan merasa lega bila ulangan ditunda,
karena dia belum belajar.
Hukum Latihan
(The Law of Exercise)
Hukum ini
dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan
penggunaan (the law of disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan
latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons akan makin kuat.
Sedangkan hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan
respons akan semakin melemah jika latihan dihentikan.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin
sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya.
Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk
dikuasai.
Hukum Akibat
(The Law of Effect)
Hubungan
stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan.
Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak
memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang
menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya tidak
menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat
kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (pun¬ishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
2. Teori
Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan Petrovich
Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya adalah tentang
condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif mengenai
kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan anjing sebagai
objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi, dengan
asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai
isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya
percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan. Hasilnya,
anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik bunyi itu ada
makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses belajar dan
pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
a. Belajar
adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara
perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses
belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar
adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d. Setiap
perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua
aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
3. Teori
Operant Conditionins
Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. la
membedakan tingkah laku responden, yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh
stimulus yang jelas. Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena melihat
daging. Operant Behavior adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri,
dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar. Misalnya, kucing lari ke
sana kemari karena kucing itu lapar, bukan karena melihat daging (Sri Rumini,
1993: 75-76). Sesuai dengan dua tingkah laku tersebut, ada dua macam kondisi,
yaitu: Pertama, Respont Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S,
karena menitikberatkan pada sti¬mulus. Hal ini sama dengan kondisi yang
dikemuka¬kan oleh Pavlov.
Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai
tipe R, karena menitikberatkan pada pentingnya respons. Menurut Skinner, ada
dua prinsip umum dalam kondisi ini, yaitu:
· Setiap respons yang diikuti stimulus yang memperkuat reward (ganjaran),
akan cenderung diulangi.
· Stimulus yang memperkuat reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya
respons operant. Dengan kata lain, reward akan mengakibatkan diulanginya suatu
respons.
Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner
berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik hukuman maupun hadiah,
mempunyai efek mengubah dan menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun
dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan, sedangkan hukuman justru
tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan hukuman tidak simetris.
4. Teori
Gestalt
Max Wertheimer adalah psikolog Jerman yang menjadi tokoh
teori ini. Penemuan teori gestalt bermula ketika Wertheimer melihat cahaya
lampu yang berkedap-kedip saat naik kereta api pada jarak tertentu. Sinar itu
memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak datang-pergi dan tidak terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada
suatu problem, kedudukan kognisi tidak seimbang sampai problem itu terpecahkan.
Kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan
sistem mental. Menurut gestalt, problem merupakan stimulus sampai didapat suatu
pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berpikir tentang suatu bahan
agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respons dari
stimulus yang berupa masalah tadi.
Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Teori Gestalt dengan metode globalnya juga sangat
berpengaruh dalam metode membaca dan menulis. Metode yang resmi digunakan
dengan mengacu teori ini dikenal dengan istilah S.A.S (Struktural, Analitis,
dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya
adalah sebagai berikut:
a. Pada
permulaan sekali, anak dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal anak
dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah
dikenal anak. Karena itu, dengan mudah anak akan segera dapat membaca
seluruhnya dengan menghafal. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang
tidak cocok dengan yang diucapkan.
b. Menguraikan
cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah
menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat
diberi warna yang berbeda, dan antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c. Memisahkan
kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda,
terpisah, dan ditulis agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun
dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d. Memisahkan
kata menjadi suku kata.
e. Memisahkan
suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda.
f. Setelah
mengenal huruf, peserta didik diajarkan menyusun suku kata; suku kata menjadi;
dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan metode ini adalah peserta didik bisa belajar
secara alamiah, sesuai dengan prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik,
tidak menjemukan, karena dimulai dengan cerita dan kalimat-kalimat yang
mengandung arti. Metode ini sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak
mengganggu, serta tergantung pada proses persepsinya masing-masing. Peserta
didik membaca dengan memahami isinya dan akhirnya murid lebih cepat menguasai
pembacaan yang sebenarnya.
5. Teori Medan
(Field Theory)
Lingkungan dipandang sebagai gejala yang saling memengaruhi.
Teori medan memandang bahwa tingkah laku dan atau proses kognitif adalah suatu
fungsi dari banyak variabel yang muncul secara simultan (serempak). Perubahan
pada diri seseorang bisa mengubah basil keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku
manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis
yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan
sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan kejadian
masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan
seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif
pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan
tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang
disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan
menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan
perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam
suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud
dengan teori medan dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan merupakan perkembangan dari teori gestalt.
Berikut penerapan teori medan dalam proses belajar-mengajar.
a. Belajar adalah
perubahan struktur kognitif (pengetahuan)
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan.
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan.
b. Peranan hadiah
dan hukuman. Hadiah dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi
dalam penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta didik
pada umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi,
tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap
sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik.
c. Masalah sukses
dan gagal. Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal
dibanding hadiah dan hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat
intrinsik, kita akan lebih tepat mengatakan bahwa suatu tujuan berhasil atau
gagal dicapai daripada mengatakan bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman.
Pengalaman sukses dapat diperoleh melalui beberapa hal:
1) Pengalaman
sukses dialami bila seseorang benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya.
Misalnya, seseorang yang ingin lulus dalam suatu program tertentu, kemudian
ternyata memang lulus.
2) Pengalaman
sukses juga dialami bila sese¬orang sudah berada di dalam daerah tujuan yang
ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus dalam suatu program bila tinggal
mengulang beberapa mata kuliah saja.
3) Pengalaman
sukses juga dialami kalau orang telah membuat suatu kemajuan ke arah tujuan
yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau telah mempersiapkan
diri dengan baik dalam menghadapi ujian.
4) Pengalaman
sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara yang oleh masyarakat
dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, seseorang merasa suk¬ses
bila pada waktu ujian keluar paling awal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d. Taraf
Aspirasi. Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi seseorang.
Untuk itu, dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan tujuan
meskipun masih bersifat sementara, sehingga ketika ia berada di daerah tujuan
sementara tersebut, ia akan merasa berhasil.
e. Pengulangan
dapat menimbulkan kejenuhan psikologis. Sebagai penerus dan penyempurna aliran
gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa yang diperoleh pertama pada saat belajar
adalah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan memiliki kedudukan sekunder.
Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan pengulangan, tetapi kuantitas
pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru ulangan yang terlalu banyak
akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang mengakibatkan terjadinya
diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar dari pemecahan
masalah.
6. Teori
Humanistik
Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers
adalah tiga tokoh utama dalam teori bela¬jar humanistik. Berikut uraian
pandangan mereka.
Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia
mengetahui bagaimana peserta didik memersepsikan perbuatannya pada suatu
situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja ti¬dak aneh bagi
orang lain.
Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi
humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu
dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan
bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan
disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan
mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana
bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik
arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik
dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati
karena misinya telah berhasil.
Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh
psikologi humanistik. Karyanya di bidang ini berpengaruh dalam upaya memahami
motivasi manusia. la menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan
positif untuk tumbuh sekaligus ke-kuatan yang menghambat.
Suwardi (2005: 54), mengutip pendapat Mas¬low, mengatakan
bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap manusia yang
siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan terendah,
selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut
adalah.
a. Kebutuhan
jasmaniah
b. Kebutuhan
keamanan
c. Kebutuhan
kasih sayang
d. Kebutuhan
harga diri
e. Kebutuhan
aktualisasi diri
Menurut ahli teori ini, hierarki kebutuhan manusia
tersebut mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik. Oleh
karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu
beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi
tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan
pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat
belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat
berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang
ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa
persoalan pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak
optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kon¬disi
ideal yang dia butuhkan.
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanis yang
gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la
menyarankan adanya suatu pendekatan yang berupaya menjadikan belajar dan
mengajar lebih manusiawi. Menurut Sri Rumini (1993: 110-112), gagasan itu
adalah:
a. Hasrat untuk
belajar
Menurut Rogers,
manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan. Perhatikan
saja, betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan
ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar pendidikan humanistis. Di dalam
kelas yang humanistis, peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk
memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya
bisa memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di
mana seorang pendidik atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
b. Belajar yang
berarti
Prinsip ini
menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan kebutuhan yang diinginkan
peserta didik. Anak akan belajar jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya,
anak cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat digunakan
untuk membeli barang kesukaannya.
c. Belajar
tanpa ancaman
Belajar mudah
dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam
lingkungan yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar
ketika peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba
pengalaman-pengalaman baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman
yang menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia dapatkan, pembelajaran
pun akan menjadi kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya
sebagai fasilitator yang menyenangkan.
d. Belajar atas
inisiatif sendiri
Bagi para
humanis, belajar akan sangat bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri.
Peserta didik akan mampu memilih arah belajarnya sendiri, sehingga memiliki
kesempatan untuk menimbang dan membuat keputusan serta menentukan pilihan dan
introspeksi diri. Dia akan bergantung pada dirinya sendiri, sehingga
kepercayaan dirinya menjadi lebih baik.
e. Belajar dan
perubahan
Prinsip
terakhir yang dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah
belajar tentang proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik
belajar mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang
didapat di sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi
sekarang, tuntutan mengubah pola pikir yang datang setiap waktu. Apa yang
dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah dijadikan pegangan untuk mencapai
sukses di masa sekarang ini. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang
yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan terus akan berubah.
Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.
Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.
Komentar
Posting Komentar